Aspek Keadilan dalam Penetapan SP3 & SOP
Uang
kuliah yang selama ini disebut SPP akan diganti dengan istilah baru,
yaitu SOP (Sumbangan Operasional Pendidikan). Penggantian istilah memang
tidak ada masalah. Apalagi jumlah rupiah yang dicantumkan dalam SPP
tidak beda dari SOP. Yang menjadi masalah adalah selain SOP mahasiswa
yang terjaring melalui SNMPTN, akan ada SP‐3 dengan nominal yang
bervariasi menurut program studi atau fakultasnya.
Adanya
ketentuan SP‐3 untuk mahasiswa yang diterima melalui SNMPTN itu
menimbulkan kekhawatiran, keberatan dan protes dari sementara mahasiswa.
Bisa dipahami karena selama ini mahasiswa S‐1 di lingkungan FISIP yang
masuk ke universitas kita melalui jalur SNMPTN membayar SPP Rp 800.000,‐
per semester (enam bulan). Sejak 2011 ini, selain SPP, ada SP‐3 yang
dibayarkan sekali pada awal masuk dan yang jumlahnya bervariasi antara
program studi dan fakultas. Adanya ketentuan
SP‐3 untuk SNMPTN inilah yang mendorong beberapa mahasiswa berkeberatan.
Aspirasi
dan kekhawatiran dan keberatan itu diekspresikan dengan pelbagai cara
sejak Maret lalu hingga kini. Kekhawatiran dan keberatan itu bisa
dipahami, karena sebagai calon pemimpin, mahasiswa memang selalu punya
kepekaan sosial, terutama yang berkaitan dengan nasib orang miskin.
Karenanya, kita mengapresiasi mahasiswa yang memilih caracara dialog dan
solutif dalam menghadapi soal itu. Kita juga menyarankan agar mahasiswa
rasional dan menghindari cara‐cara emosional dan provokatif yang bisa
menimbulkan efek negatif bagi pencitraan universitas kita.
Kekhawatiran dan keberatan itu memang menjadi masukan dalam proses
konversi pembuatan penetapan tentang SOP dan SP‐3 itu. Tuntutan untuk
mempertahankan kualitas pendidikan dan pertimbangan aspek keadilan juga
jadi masukan dalam proses konversi itu. Hasilnya, ditetapkan mulai tahun
2011/2012,
untuk jalur SNMPTN diberlakukan empat kategori. Kategori
pertama disebut Gakin, mahasiswa dari orang tua (bapak+ibu)
berpendapatan < Rp 1.350.000,‐ per bulan, tidak membayar SOP dan
SP‐3. Kategori kedua, dari orang tua (bapak+ibu) berpendapatan antara Rp
1.351.000,‐ dan Rp 2.500.000,‐, membayar SOP tetapi tidak membayar
SP‐3. Kategori ketiga, dari orang tua (bapak+ibu) berpendapatan antara
Rp 2.501.000,‐ dan Rp 7.500.000,‐, membayar SOP dan SP‐3 sejumlah
tertentu tergantung program studinya (untuk FISIP Rp 3juta). Kategori
keempat, dari orang tua (bapak+ibu) berpendapatan Rp 7.501.000,‐ ke atas
membayar SOP dan SP‐3 sejumlah tertentu tergantung program studinya
(untuk FISIP Rp 6 juta).
Pemberlakuan SP‐3 itu tentu masih bias
dikritik. Tetapi, aspek keadilan pemberlakuan SP‐3 itu tampak jelas,
terutama dengan adanya pembebasan SOP dan SP‐3 bagi mahasiswa dari
keluarga miskin (Gakin) serta pembebasan SP‐3 bagi mahasiswa dari
keluarga kurang mampu. Sementara pemberlakukan SP‐3 bagi keluarga mampu
dan amat mampu (kaya) diharapkan terjadi proses subsidi silang
antarmasyarakat.
Bagaimana pun, proses selama ini menuju
penetapan adalah pembelajaran bersama. Bahwa pelbagai aspek memang mesti
kita pertimbangkan dalam proses konversi. Kini yang penting, kita
benar‐benar mewujudkan keadilan dan proses subsidi silang itu dengan
sebaikbaiknya. DICOPY DARI (i basis susilo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar