Minggu, 23 Juni 2013

ASPEK PENETAPAN SP3 DAN SOP UNAIR

Aspek Keadilan dalam Penetapan SP3 & SOP

Uang kuliah yang selama ini disebut SPP akan diganti dengan istilah baru, yaitu SOP (Sumbangan Operasional Pendidikan). Penggantian istilah memang tidak ada masalah. Apalagi jumlah rupiah yang dicantumkan dalam SPP tidak beda dari SOP. Yang menjadi masalah adalah selain SOP mahasiswa yang terjaring melalui SNMPTN, akan ada SP‐3 dengan nominal yang bervariasi menurut program studi atau fakultasnya.

Adanya ketentuan SP‐3 untuk mahasiswa yang diterima melalui SNMPTN itu menimbulkan kekhawatiran, keberatan dan protes dari sementara mahasiswa. Bisa dipahami karena selama ini mahasiswa S‐1 di lingkungan FISIP yang masuk ke universitas kita melalui jalur SNMPTN membayar SPP Rp 800.000,‐ per semester (enam bulan). Sejak 2011 ini, selain SPP, ada SP‐3 yang dibayarkan sekali pada awal masuk dan yang jumlahnya bervariasi antara program studi dan fakultas. Adanya ketentuan
SP‐3 untuk SNMPTN inilah yang mendorong beberapa mahasiswa berkeberatan.

Aspirasi dan kekhawatiran dan keberatan itu diekspresikan dengan pelbagai cara sejak Maret lalu hingga kini. Kekhawatiran dan keberatan itu bisa dipahami, karena sebagai calon pemimpin, mahasiswa memang selalu punya kepekaan sosial, terutama yang berkaitan dengan nasib orang miskin. Karenanya, kita mengapresiasi mahasiswa yang memilih caracara dialog dan solutif dalam menghadapi soal itu. Kita juga menyarankan agar mahasiswa rasional dan menghindari cara‐cara emosional dan provokatif yang bisa menimbulkan efek negatif bagi pencitraan universitas kita.

Kekhawatiran dan keberatan itu memang menjadi masukan dalam proses konversi pembuatan penetapan tentang SOP dan SP‐3 itu. Tuntutan untuk mempertahankan kualitas pendidikan dan pertimbangan aspek keadilan juga jadi masukan dalam proses konversi itu. Hasilnya, ditetapkan mulai tahun 2011/2012,
untuk jalur SNMPTN diberlakukan empat kategori. Kategori pertama disebut Gakin, mahasiswa dari orang tua (bapak+ibu) berpendapatan < Rp 1.350.000,‐ per bulan, tidak membayar SOP dan SP‐3. Kategori kedua, dari orang tua (bapak+ibu) berpendapatan antara Rp 1.351.000,‐ dan Rp 2.500.000,‐, membayar SOP tetapi tidak membayar SP‐3. Kategori ketiga, dari orang tua (bapak+ibu) berpendapatan antara Rp 2.501.000,‐ dan Rp 7.500.000,‐, membayar SOP dan SP‐3 sejumlah tertentu tergantung program studinya (untuk FISIP Rp 3juta). Kategori keempat, dari orang tua (bapak+ibu) berpendapatan Rp 7.501.000,‐ ke atas membayar SOP dan SP‐3 sejumlah tertentu tergantung program studinya (untuk FISIP Rp 6 juta).

Pemberlakuan SP‐3 itu tentu masih bias dikritik. Tetapi, aspek keadilan pemberlakuan SP‐3 itu tampak jelas, terutama dengan adanya pembebasan SOP dan SP‐3 bagi mahasiswa dari keluarga miskin (Gakin) serta pembebasan SP‐3 bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu. Sementara pemberlakukan SP‐3 bagi keluarga mampu dan amat mampu (kaya) diharapkan terjadi proses subsidi silang antarmasyarakat.

Bagaimana pun, proses selama ini menuju penetapan adalah pembelajaran bersama. Bahwa pelbagai aspek memang mesti kita pertimbangkan dalam proses konversi. Kini yang penting, kita benar‐benar mewujudkan keadilan dan proses subsidi silang itu dengan sebaikbaiknya. DICOPY DARI (i basis susilo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar